Dusta Di Atas Kejujuran


Dusta adalah sebuah kebohongan. Tidak perlu dijelaskan lagi. Sudah sangat jelas. Dusta dan kejujuran adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Lantas bagaimana bisa ada dusta di atas kejujuran? Mustahil! Namun itulah perjalan hidup yang dialami oleh Ran. Lelaki pemegang teguh kejujuran. Ini bukan sekedar dusta soal perasaan tetapi lebih. Jika ini tentang perasaan maka ini bukan tentang perasaan kepada lawan jenis. Sungguh.

***

Cita-cita. Karena kalimat itulah seseorang bisa saja berjuang dengan sangat keras untuk mewujudkan impiannya namun karena kalimat itu pula seseorang bisa berubah menjadi serigala buas yang tidak mempunyai belas kasihan. Cita-cita, karena kalimat itulah kini seorang lelaki dengan kacamata minusnya terdampar di Ibu Kota Indonesia. Ya, Jakarta. Kota metropolitan. Di mana kau akan banyak menemui gedung-gedung tinggi, polusi di mana mana, dan tak ketinggalan juga kerasnya kehidupan di kota yang dahulu bernama Batavia ini bahkan soal perasaan sekali pun.

Untuk kesekian kalinya Ran lelaki berkacamata minus itu harus mendesah kesal. Bukan, bukan karena ia harus berjubelan dengan banyak orang di dalam kopaja. Bukan pula karena ia harus mengantre lama ketika pergi ke toilet dan diselak oleh mereka yang memiliki kekuasan. Ah, itu hanya contoh sebagian kecil kerasnya tinggal di kota ini. Sungguh. Maka Ran sudah biasa menghadapi hal itu. Sabar. Mau bagaimana lagi? Toh, memang seperti ini keadaannya. Lelaki itu menghembuskan nafas berat, ia menatap sahabatnya yang kini tengah menangis tersedu-sedu. Seorang lelaki menangis? Sungguh memalukan terlebih karena urusan perasaan. Lihatlah! Bahkan untuk urusan seperti ini saja kota ini begitu kejam. Tidak bukan kota ini yang kejam tetapi orang-orang di dalamnya. Kota ini tidak salah toh kota hanyalah sebutan sebuah tempat. Mereka mati dan orang-orang yang tinggal di dalamnyalah yang hidup. Jadi berhenti menyalahkan kota ini!

Baca Juga

“Gue itu sayang banget sama Lulu Ran!”
“Gue tahu. Lantas mau bagaimana lagi? Toh sekarang Lulu sudah bahagia sama Rendy. Bukannya cinta itu bahagia ketika melihat orang lain bahagia?”
“Tapi nggak gini caranya,”

Ran menggaruk-ngaruk kepalanya. Ia bingung. Perasaan adalah sesuatu yang sangat membingungkan. Ah, ia tidak ingin terjerumus ke dalam lebah bernama “Perasaan” itu tentu akan sangat membuatnya lelah dan alasan mutlak kenapa ia tidak ingin terjerumus adalah perasaan itu penuh dusta! Ia benci perasan ah bukan perasaannya tetapi dustanya. Kini nafas lelaki itu memburu. Sungguh ia benci dusta.

***

Suasana kelas hening. Semua mata tertuju kepada lembaran soal yang kini berada di hadapan mereka. Pena dalam gemgaman para mahasiswa itu menari nari indah di atas kertas. Hening untuk beberapa menit pertama ujian dimulai dan gaduh untuk menit menit berikutnya. Gaduh di sini bukan para mahasiswa yang sibuk mencari jawaban ke sana kemari karena sudah sangat jelas bahkan dari kacamata minus lelaki itu sekali pun bahwa ada seorang penjaga di depan sana. Penjaga yang siap menarik serta merobok kertas mereka yang berani mencontek. Lantas bagaimana bisa terjadi kegaduhan? Gaduh dengan diri mereka sendiri pastinya. Entah bagaimana bisa dengan seorang pengawas di depan mereka masih bisa mencontek. Semua itu dilakukan karena sebuah cita-cita mendapat nilai bagus. Ran hanya bisa menghembuskan nafas berat. Inilah mereka! Para generasi bangsa! Sungguh memalukan! Negeri ini penuh dusta!

***

Pagi itu seorang anak lelaki berusia 15 tahun baru saja kembali dari warung. Ia kembali dengan wajah ceria sambil membawa belanjaan yang dipesan oleh ibunya. Dipertengahan jalan kecerian itu masih nampak namun semakin mendekati rumah kecerian itu perlahan menghilang. Tangan bocah itu terkepal hebat. Ia marah. Dusta kembali hadir!

“Untuk apa Nak uang sebanyak itu?” tanya seorang wanita paruh baya dengan lirih.
“Untuk bayar kuliah Bu,”

Benar. Pendusta itu hadir kembali. Kali ini dengan tampang yang sangat memelas. Tentunya memelas yang dibuat-buat agar ibu lekas memberikan uang dan pendusta itu lantas pergi begitu saja dan akan kembali dengan dusta-dusta selanjutnya. Cukup! Ran lelah dengan semua ini maka ia pun dengan berani meneriaki kakaknya itu.

“Pergi kamu Kak! Uang itu bukannya untuk bayar kuliah kan tetapi untuk kamu bersenang-senang?!”
Nafas bocah lelaki itu memburu. Bara amarah terpancar jelas dari bola matanya.
“Ikut Kakak!” pendusta itu kini menarik tangan kasar adiknya ke teras. Ibunya tidak mampu berbuat banyak, membiarkan Ran kecil habis oleh anaknya. Karena sebuah alasan wanita paruh baya tersebut diam saja.
“Sudah aku bilang jangan ikut campur urusanku!” bentak pendusta itu. Menatap tajam Ran. Tatapan yang membunuh serta senyuman licik. Lelaki itu bukan hanya pendusta tetapi juga penjahat. Ran tidak menjawab malah membuang ludah membuat kakaknya naik pitam.
“Berani sekali kamu! Anak tidak tahu diuntung!” lagi lagi kakaknya mengatakan hal itu. Ran tidak pernah mengerti maksud dari perkataan kakaknya bukannya kakaknya ini yang tidak tahu diuntung?
“Sudah cukup aku diam selama ini. Hey, kamu harus tahu kenapa Ibu tidak pernah membela kamu! Kenapa Ibu selalu membiarkan aku memarahimu!”

Deg! Apa yang dikatakan pendusta itu memang benar. Sebuah pertanyaan besar untuk Ran.

“Kamu itu anak punggut! Karena permintaan Ayahlah kamu diangkat menjadi adikku. Ibu sama sekai tidak menyayangi kamu! Kamu bilang aku pendusta? Ya, itu memang benar terlebih Ibuku. Hahahaha” kini lelaki itu tertawa puas menatap Ran dengan penuh iba.

Kini jelas sudah semuanya. Dusta! Perkataan ibunya bahwa alasan kenapa ia tetap memberikan uang kepada kakaknya meski ibunya tahu bahwa kakaknya berbohong karena kakaknya adalah calon penerus bangsa ini. Generasi bangsa ini. Biarlah kakaknya berbohong saat ini hingga kenyang bahkan muntah muntah asal tidak nanti ketika menjadi salah satu anggota wakil rakyat. Cita-cita kakaknya. Bodoh sekali ia selama ini jelas-jelas itu semua hanyalah sebuah alasan. Sudah sangat jelas. Ada butiran kristal yang keluar dari sudut mata bocah itu.

Kasih sayang ibunya selama ini ternyata hanya dusta. Bahkan untuk urusan perasaan pun terdapat dusta.
***

“Ran jadi kamu mau kan membantu aku melaporkan siapa saja yang mecontek ketika ulangan?” tanya seorang perempuan. Membuyarkan ingatakan Ran pada masa kecilnya.
“Aku tidak yakin,” jawab Ran sekenanya. Ia terlalu naif untuk memperjuangkan kebenaran karena nyatanya kehidupannya penuh dengan dusta.
“Aku nggak tahu ada masalah apa kamu sama keluarga kamu atau dengan siapa pun dan aku tidak peduli toh itu urusanmu. Tetapi Ran ini soal generasi. Soal siapa yang kelak akan memimpin bangsa ini. Kita dan mereka adalah penerus bangsa!”

Diam. Sejenak lelaki itu merenungi perkataan perempuan di hadapannya. Jika ditanya soal dusta semua orang pasti pernah berdusta baik itu secara sadar atau tidak. Berdusta karena sebuah alasan. Jika semua orang berfikiran seperti dirinya mungkin generasi ini tidak akan maju maka lelaki itupun akan berdamai dengan dirinya sendiri. Mengesampingkan egonya. Ia akan membantu Kiki menegakkan kejujuran meski bukanlah perkara yang mudah.

END


Related Posts

3 Responses to "Dusta Di Atas Kejujuran"

  1. mau pilih yang mana? dusta diawal atau kejujuran menyakitkan di akhir? hmmm

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jujur diawal , maka semoga selanjutnya tidak ada dusta.
      Pilihan yang disebutkan tidak ada yang enak hehehe

      Hapus
    2. ya, yang terpenting tidak ada dusta selanjutnya. itu loh yang penting hehe

      Hapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel