Penjara

Tidak pernah ada kata menyesal diri ini pernah berpijak di tempat itu. Cerita yang terinprasi dari tempat itu.. 

Senja Perjuangan

****

Hari masih pagi, jam baru saja menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit masih tersisa empat puluh lima menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Seorang bocah lelaki berseragam khas sekolah menengah pertama (SMP) berlari menjauhi gerbang sekolah, sesekali bocah itu menengok ke belakang memastikan bahwa tidak ada yang melihat aksinya.

Nafasnya tersengal sengal, ia sudah berada cukup jauh dari sekolah. Limas belas menit ia berlari. Air mineral yang semula masih terisi penuh kini tinggal setengah, sebelum akhirnya ia benar benar meneguk seluruh isi dalam botol itu dan membuangnya sembarang. Mengatur nafas dan duduk tersungkur. Cukup lama. Kini sosok itu melangkahkan kaki ke sebuah warung internet dengan pasti.

Baca Juga

“Cabut lagi lo?” tanya seorang lelaki berambut gondrong dengan celana jins sobek dimana mana. Penjaga warnet.
“Ya begitulah Bang,” jawab si siswa SMP sambil menuju ke salah satu bilik warnet yang kosong.
“Mau jadi apa lo? Baru masuk sekolah saja sudah kabur kaburan.”
“Jadi orang lah Bang, dari gue kecil sampai sekarang gue nggak berubah rubah tu jadi binatang,”
Penjaga warnet itu mengatakan sesuatu namun dengan santainya bocah bernama Ardi itu memasang earphone dan menyetel sebuah musik. Ardi terdiam, tidak seperti biasanya yang lansung memainkan game, ia menikmati lagu yang mengalun merdu di telinganya. Entah itu lagu apa, ia belum pernah mendengarnya.

Cukup lama Ardi berada pada posisinya tersebut. Sebelum akhirnya bocah berusia dua belas tahun itu menatap lurus kedepan dan melepas earphone. Perlahan berjalan ke luar dari biliknya, membuat si penjaga warnet menatap kebingungan.

“Sudah sadar lo?”
“Kamar mandi dimana Bang? Kebanyakan minum air gue!”
“Itu dibelakang, lurus aja!” jawab lelaki berambut gondrong sambil menunjuk bagian belakang ruangan berbentuk persegi itu. Menggelengkan kepalanya.
Tidak beberapa kemudian, Ardi kembali ke biliknya dan kembali memasang earphone namun kali ini ia tidak menyetel sebuah lagu ia langsung memaikan game kesukannya. Peperangan.

***
Ardi mengayunkan kakinya secepat mungkin. Adzan ashar sudah berkumandangan sejak setengah jam yang lalu dan ia baru keluar dari warnet. Permainan kali ini benar benar membuatnya terlena, untung saja penjaga warnet mengingatkannya jika tidak matilah ia kena omel kedua orangtuanya. Sopir papanya pasti sudah menunggu di gerbang sekolah.

Tinggal beberapa orang saja yang masih tersisa di tempat yang sangat ia benci. Untung mereka semua adalah kakak kelasnya jadi tidak ada yang mengenali Ardi, ia baru masuk ke sekolah yang ia sebut ‘penjara’ itu sebulan yang lalu.

“Anak kelas tujuh ya?” tanya seorang bocah lelaki berseragam sama dengan dirinya.
“Iya Kak,” jawab Ardi berusaha sebiasa mungkin, khawatir ketahuan membolos.
“Ardi bukan?” tanya sosok itu lagi. Ardi mulai gelagapan, ia hanya menganggukan kepalanya saja. Keringat dingin mulai menjuluri tubuh kecilnya terlebih si kakak kelas diam cukup lama.
“Oiya tadi ada bapak bapak yang ke sini nyariin kamu pas jam istirahat ke dua, beliau bilang tidak bisa jemput kamu hari ini jadi kamu pulang naik angkot saja ya!”
Ardi segera bernafas lega mendengar penuturan kakak kelasnya, kini bocah itu tersenyum membuat kakak kelasnya bingung.

“Kok malah senang? Biasanya kalau nggak di jemput itu kesal apalagi kamu anak baru,”
“Eh..” kini ia jadi salah tingkah, menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
Kakak kelasnya berlalu sambil tertawa, melihat ekspresi Ardi yang lucu. Bocah lelaki itu pun hanya menatap punggung yang perlahan semakin menjauh, sedetik kemudian ia mengikuti langkah kakak kelasnya itu, dengan perlahan melangkah kaki ke ujung gang. Dimana sebuah jalan besar yang biasa dilewati angkot.

Bocah itu tersenyum sendiri ketika mengingat kejadian yang baru saja ia lalui, sosok tadi adalah kakak kelas yang pertama kali berbicara dengannya. Kak Rafa. Masih tersenyum bahkan ketika angkot yang ia naiki mulai melaju di jalan raya.
Kejadian 6 tahun yang lalu.
***
4 tahun lalu

“Mau jadi apa lo?!” ucap seorang siswa SMP dengan nada tinggi.
“Terserah gue mau jadi apa, ini hidup gue!” jawab si lawan bicara tak kalah tinggi. Menatap sinis.
“Lo fikir ganteng aja cukup?! Nggak?! Lo juga harus pinter! Dan disini tempanya!”
“Ah, banyak omong lo!”
“Di, ente tu sudah kelas tiga waktunya serius!” salah satu siswa angkat bicara. Dani. Pemegang peringkat dua sejak kelas satu.
“Elo semua itu lupa ya? Kalau yang lagi nasehatin gue itu dulunya lebih bandel dari gue!” Aldi menatap sinis Ardi, tersenyum kecut. Mengingatkan kepada kisah di kelas satu.
***
5 tahun lalu

Sebulan lagi kelas tiga akan diwisuda itu berarti mereka akan meninggalkan sekolah tercinta ini. Waktu Ardi bersama kak Rafa pun semakin menipis, rasanya ingin sekali memperlambat waktu agar ia bisa lebih lama bersama sosok yang ia kagumi. Masih banyak kisah yang ingin Ardi bagi kepada kak Rafa, ia masih butuh penyemangat, penasehat dan ilmu yang ada pada diri Muhammad Rafa itu. Bahkan jika ditambah tiga tahun lagi itu pun masih belum cukup untuknya, tidak akan pernah cukup waktu untuk bersama sosok yang telah ia anggap abang. Bahkan meski apa yang kak Rafa pelajari sudah diajarkan semua kepada dirinya. Alasan utama menggapa selama ini ia dekat dengan kak Rafa, namun ternyata itu salah. Alasan utamannya kak Rafa adalah orang penting dalam hidupnya bukan ‘Ilmu Berjalan’ yang biasa ia katakan kepada orang orang tentang sosok itu.

“Kakak mau lanjut kemana?”
“Ke pesantren di Jawa,”
“Jangan pernah menyesal sudah berada di tempat ini ya, Di!”
“Tidak Kak, malah sekarang aku bersyukur,”
“Kamu belajar yang rajin dan jangan lupa ingatkan teman teman kamu kalau mereka mulai melakukan kesalahan!” ucap kak Rafa masih dengan menatap hamparan perumahan di sebrang sana.
“Tapi Kak, aku kan bandel?”
“Itukan dahulu, semua orang bisa berubah menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.”

***

Untuk kesikian kalinya bocah berusia dua belas tahun itu berlari menjauh gerbang sekolah. Masih sama, sesekali matanya menatap was was khawatir ada yang melihat aksinya seperti dua hari yang lalu. Meski sudah dua kali masuk kantor dan hanya memiliki kesempatan sekali lagi, Ardi tidak peduli. Ia hanya ingin secepatnya keluar dari ‘Penjara’, tidak apalah jika orangtuanya harus marah asalkan ia bisa keluar dari tempat ini.

“Mau kemana kamu?” ucap seorang yang sangat Ardi kenali. Jantungnya berdegup kencang, matilah ia.
“Ke... warung Kak!” jawab Ardi gap gap, mencari alasan.
“Kakak temani ya!”
“Nggak usah Kak, nggak jadi ke warung aku mau langsung ke kelas saja!”

Kedua siswa SMP itu berjalan beringingan menuju sekolah. Tak ada yang bicara satu sama lain, mungkin kak Rafa sudah bosan menasehatinya agar tidak bolos sekolah. Ardi menghela nafas lega, akhirnya kakak kelasnya itu diam juga.

***

“Aku mau keluar dari tempat ini, terlalu banyak aturan disini! Aku bosan dari SD belajar agama, apalagi menghafal al-qur’an. Bosan Kak!” Ada penekanan dikalimat terakhir yang diucapkan Ardi. Bertanda ia sangat sungguh sungguh dalam ucapannya. Pandangan bocah itu mengikuti pandangan si lawan bicara, deretan perumahan di sebrang sana.
“Hahaha, alasan kamu sama seperti yang lain. Apa kalian semua yang tidak betah di tempat ini janjian?” sebuah tawa kecil keluar dari mulut kak Rafa. Menghangatkan suasana.
“Bearti benar tempat ini adalah penjara?  Buktinya banyak yang tidak betah,” ada nada sinis yang diucapkan bocah lelaki itu. Ia merasa menang.
“Mungkin saat ini kamu membenci tempat ini, kamu masih baru disini, belum bisa beradaptasi. Mereka yang tidak betah dan terus bertahan ditempat ini sekarang bersyukur berada disini dan nantinya kamu juga akan begitu. Tempat ini memberi ilmu yang tidak ternilai!”

Hari beranjak sore. Adzan ashar berkumandang. Adik dan kakak kelas itu berjalan beringingan menuju sumber suara yang mengalun merdu itu. Muhammad Rafa, dalam hati berjanji tidak akan membiarkan Ardi pergi dari tempat ini.

“Orang yang bandel itu harus dididik bukannya malah ditinggalkan!” ia teringat ucapan salah satu ustadznya dan itulah yang akan ia lakukan kepada bocah lelaki tersebut.
Kisah 6 tahun lalu di bedeng.

***


Angin berhembus pelan, menerpa wajah seorang lelaki berbaju koko merah marun. Sosok itu menatap tajam bangunan di depannya, segaris senyum terukir di wajah tampannya. Bangunan yang telah banyak berubah, tempat dimana ia benar benar ditempa menjadi seorang manusia yang berguna. Tak henti hentinya lelaki berusia delapan belas tahun itu mengucapkan syukur telah ditakdirkan berada ditempat yang dahulu ia sebut ‘Penjara.” Lebih tepatnya ‘Penjara Suci’ seharusnya.

Related Posts

0 Response to "Penjara"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel