Gila!

Untuk kesekian kalinya bocah lelaki itu mendengus kesal. Lagi-lagi layangannya terbang entah kemana mengikuti arah angin dan teman-temannya pun lagi lagi mengejar benda itu. Ia kalah lagi dan lagi-lagi lawan mainnya tersenyum penuh kemenangan kearah bocah lelaki bernama Fajar itu.

“Kalah terus Jar!” ucap salah seorang temannya sambil terus asik dengan layangannya diatas sana.

“Jagoankan kalah di awal menang di akhir,” jawab bocah itu sambil mengikuti pandangan temannya.

Hamparan langit biru yang indah ditambah dengan semilir angin yang cukup kencang membuat suasana sore hari kala itu menjadi menyenangkan terutama bagi mereka para pecinta layang-layang. Waktu yang tepat untuk menerbangkan benda tersebut setinggi mungkin. Mata Fajar tak lepas dari karya Tuhan itu, layangannya boleh putus namun tidak untuk mimpinya. Malah mimpinya itu lebih tinggi daripada layangan tertinggi yang tengah terbang dilangit sana. Mimpi seorang bocah lelaki berusia sembilan tahun.

***
Untuk kesekian kalinya bocah lelaki berseragam biru dongker itu mendengus kesal. Lagi-lagi anak tetangganya membuat ulah. Seorang bocah perempuan seusianya yang sangat suka memakai topeng gorila yang baginya tidak menakutkan namun sangat menakutkan untuk seseorang yang sangat ia jaga. Arini. Seseorang yang kata kedua orangtuanya adalah jodohnya. Jodoh? Bahkan Fajar tidak pernah berfikir sejauh itu ia masih terlalu kecil untuk memikirkannya. Baru tahun ini ia resmi menjadi siswa SMP.

Baca Juga

“Fajar, kamu harus jaga Arini baik baik ya! Inggat dia itu jodoh kamu!” ucap ayahnya suatu hari.
“Jodoh itu apa Ayah?” tanya Fajar yang kala itu duduk dibangku kelas 5 SD.
“Nanti kamu juga tahu, tugas kamu sekarang hanya menjaga Arini agar selalu baik baik saja!”
Inggatan Fajar kembali berputar.

“Fajar, aku takut! Icha berjalan kearah rumahmu!”

Fajar segera bangkit dari tempat duduknya, melongok keluar melalui jendela berbentuk segi empat. Benar apa yang dikatakan Arini, bocah perempuan menyebalkan itu berjalan kearah rumahnya ia tidak bisa diam saja ini akan membuat Arini ketakutan. Ditatapnya Arini sekilas, wajah bocah itu pucat pasi entah kenapa Arini takut dengan topeng gorila ia pun tidak mengetahui alasannya karena itu tidak penting. Yang terpenting adalah menjaga jodohnya itu dengan sebaik-baiknya. Dengan langkah pasti Fajar berjalan keluar rumah.

“Icha, pergi kamu!”  bentak Fajar.
Siempunya naman tidak menjawab tidak juga beranjak pergi. Icha membuka topengnya. Wajah bocah itu menunjukkan kebingungan. Salah apa ia sehingga diusir?
“Kenapa aku harus pergi?”
“Karena kamu membuat Arini ketakutan!” Fajar masih berkata dengan kasar.
“Baiklah, aku hanya ingin mengambil anak ayamku yang lari ke teras rumahmu!”
Bocah berambut ikal itu pun segera mengambil apa yang menjadi haknya. Ia membelai lembut anak ayamnya kemudian bergegas pergi dari rumah Fajar.

***

Seorang lelaki terdiam. Tak bergerak sedikit pun dari posisinya. Hanya tatapan matanyalah yang tak lepas dari punggung seorang perempuan yang perlahan semakin menjauh. Hilang di tengah kerumunan orang orang di terminal. Lelaki berkaca mata itu menghembuskan nafas berat, ia baru saja melepas setengah hatinya pergi. Tidak, kali ini tidak dengan waktu yang sebentar seperti beberapa bulan lalu saat setengah hatinya itu pergi ke Jogyakarta karena sebuah urusan.

Lelaki bernama Fajar itu tetap pada posisi semula. Menikmati rasa sakit yang teramat dalam, melepaskan setengah hatinya yang entah akan kembali ataupun tidak. Tidak ada yang menjamin bahwa perempuan itu akan kembali, tidak menutup kemungkinan pula bila perempuan itu kembali telah menggandeng seorang lelaki. Perempuan itu cantik. Hati dan fisiknya. Sempurna.

Selama ia mengenal pemilik setengah hatinya itu tak pernah ada kata cinta yang terucap. Sungguh. Ia sangat mencintai perempuan itu namun keadaan tidak memungkinkan untuk memiliki bahkan untuk menyampaikan pun tidak bisa. Fajar mencintai perempuan itu, hatinya selalu berdesir ketika sosok anggun tersebut tak sengaja hadir di hadapannya. Sebagaimana pun ia mencintai perempuan itu ia tidak boleh egois. Hingga kini Tuhan menjawab semuanya. Memberi jalan. Semoga.

“Apa yang kamu rasakan?” tanya seorang lelaki sebayanya yang kini tengah berdiri tepat disamping Fajar. Entah sejak kapan.
“Seperti melepaskan separuh nyawaku, bahkan lebih sakit dari melepaskan Arini.”
“Arini sudah berbahagia dengan lelaki pilihannya jadi kapan giliranmu?”

Diam. Lelaki itu kembali menghembuskan nafas berat. Matanya terpejam sejenak.

“Setelah kami sama sama lulus S2.”
“Setelah lulus kamu akan menikahinya atau saat itu kamu baru berkata bahwa kamu mencintainya?”
“Dua-duanya.”
“Hey, apa kamu gila? Icha cantik. Lelaki di luar sana sungguh banyak, dari segi materi, kepintaran bahkan ketampanan mungkin sangat jauh darimu. Ungkapkan sekarang kawan! sebelum terlambat!”

“Tidak. Aku tidak ingin mengantung seseorang. Ini tentang perasaan dan perasaan bukanlah sebuah permainan.”
“Kamu sudah mencintainya sejak lama, apa masih pantas disebut permainan?”
“Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan hatiku ke depannya bahkan aku tidak menjamin masih mencintainya esok hari.”

Diam. Lelaki itu sudah kebahabisan kata untuk menghadapi sahabatnya.
***

Nafas Fajar tersengal-sengal. Lelaki itu berhenti mengejar Arini. Ia baru saja sembuh dari penyakitkan, asma. Nafasnya pun masih belum stabil dan kini dipaksa untuk mengejar bocah sehat yang dengan lincahnya berlari ke sana kemari. Disebuah kursi yang disediakan pengelola taman Fajar terduduk. Matanya terpejam. Tangan kanannya memegang dada. Rasanya hampir mati. Ia sudah tidak peduli dengan Arini, biar saja Arini hilang dari pandangannya.

“Mau minum?” tawar seseorang yang kini duduk tepat disamping Fajar. Menyodorkan botol minuman.
“Terimakasih,” Fajar menenguk air secara perlahan. Ia bahkan belum tahu siapa yang kini tengah duduk sebangku denganya. Lelaki sepertinya, memakai celana jins.
“Icha?” Diluar dugaan. Ia tersontak kaget.
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa.”

“Cinta itu tidak selalu kamu harus berkorban untuknya. Ada saatnya dimana kamu harus berhenti melakukan semua itu karena kamu juga pantas bahagia. Ah, cinta itu omong kosong! Aku tidak akan jatuh cinta!”

Setelah mengucapkan kalimat itu perempuan bernama Icha itu pergi. Tidak ada yang tahu persis tentangnya bahkan tetangga tetangganya sekali pun termaksuda ia dan juga orangtuanya. Keluarga Icha adalah keluarga yang tertutup, keluar rumah jika ada kepentingan saja. Icha kerap kali disangka gila akibat suka berkeliling kampung dengan topeng gorila. Tidak ada maksud menakuti, perempuan itu hanya berjalan saja berjalan seolah tak menggunakan topeng.

Icha tidak gila! Perempuan itu waras bahkan sangat. Sepertinya ia lah yang gila dan Icha menyadarkannya. Apa yang selama ini ia rasa? Jenuh. Bosan. Tak ada bahagia yang didapat ketika berkorban untuk Arini padahal cinta itu adalah ketika kamu bahagia melihat orang yang kamu cintai bahagia. Fajar tidak mencintai Arini meski sudah lama bersama. Bahkan karena Arini impinnya hilang, cinta tidak menyakiti bukan? Sekali lagi ia tidak mencintai Arini.
***

“Aku melepaskanmu Icha!” ujar Fajar lirih. Ada butiran kristal yang jatuh dari sudut mata lelaki itu. Sedetik kemudian ia tersenyum.

***
“Apakah cinta sejati itu? Maka jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya...Aku tahu kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang cinta itu sejati, tapi kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah dipahami oleh pecinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami penjelasannya.” 
― Tere Liye, Rindu.


“Lepaskanlah. Maka besok lusa, jika dia cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Hei, kisah-kisah cinta di dalam buku itu, di dongeng-dongeng cinta, atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya.
Tetapi kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.”
― Tere Liye, Rindu.

***

Terkadang orangtua merasa berhak atas kehidupan anaknya, mereka lupa bahwa tak semua yang mereka atur tidak sesuai dengan anak itu. Membiarkan anak itu menjadi robot, bahkan tak jarang harus melepaskan impian besarnya!

#SenjaPerjuangan

Related Posts

0 Response to "Gila!"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel