Kerupuk 17-San

“Merdeka?! Merdeka apanya?! Toh sampai
saat ini secara tidak langsung Indonesia masih di jajah oleh negara asing! Aku
muak!”
Arif tersenyum sinis, tangannya mengepal
seolah siap meninju apa saja yang ada di hadapannya. Lelaki muda itu marah.
Baginya Indonesia tidak pernah merdeka.
***
Sejauh mata memandang pasti akan kau
temukan kibaran bendera merah putih yang terpasang di rumah-rumah warga.
Kecuali sebuah rumah di ujung jalan, rumah yang bercat kusam, atap yang bocor,
pun tembok yang mulai keropos, rumah
yang jauh dari kata sederhana, apalagi mewah. Namun, rumah inilah yang menjaga
Arif dan keluarganya.
Baca Juga
Lelaki muda yang selalu menjadi bintang
kelas itu, bertekad tidak akan pernah memasang bendera merah putih lagi, tahun
lalu adalah terakhir kalinya, ia juga tidak akan mengikuti upacara, sebuah
rencana sudah disusun dengan matang supaya ia bisa tidak hadir ke sekolah tanpa
catatan alfa di absen. Ia akan tinggal di rumah seharian selama perayaan 17
Agustus berlansung, ia muak.
***
“Lihat Arif nggak?” sudah hampir lima
kali pertanyaan itu terlontar dari mulut Ihsan dan semua yang ditanya pun
memberikan jawabannya yang mengecewakan, hingga akhirnya Ihsan menemukan
jawabannya di buku absen. “Sakit? Perasaan kemarin sehat-sehat aja tu anak,”
“Di sini ternyata! Ayo ke lapangan
sebentar lagi perlombaan di mulai!” ujar seorang lelaki berseragam khas SMA di
depan pintu kelas.
“Arif, semoga kamu memiiliki sifat Arif
seperti namamu!” ujar Ihsan pelan sebelum akhirnya melangkahkan kaki keluar
kelas.
***
Lagi-lagi lelaki muda itu tersenyum
sinis, memandang lawan bicaranya, sebentar kemudian beralih pada jalanan Ibu
Kota yang kini dipenuhi oleh berbagai macam kendaraan, maklum sekarang masuk
jam pulang kerja, kemacetan pun tidak bisa dihindari. Jika boleh memilih Arif
lebih ingin berada di tengah kemacetan itu dari pada harus berdebat dengan
temannya yang sok bijak, Ihsan.
“Kamu munafik kalau bilang negeri ini nggak
merdeka!”
“Hah? Elu kali yang muna!”
“Kamu bilang negeri ini nggak merdeka!
Kalau negeri ini belum merdeka kamu nggak akan bisa sekolah, kamu nggak akan
bisa jadi juara kelas dan mendapatkan beasiswa. Kalau negeri ini belum merdeka,
untuk tidur pun nggak akan tenang karena ketika tertidur berarti kamu siap mati
ketika penjajah datang tiba-tiba, dan lihat sekarang! Kamu bisa sekolah dengan
tenang, tidur dengan tenang! Dan setidaknya kamu bisa hidup tanpa harus
memikirkan perang!”
Tidak ada balasan atas pernyataan Ihsan,
Arif terdiam cukup lama, ia teringat kisah ketika penjajahan masih berlangsung,
di mana suasana begitu mencekam , rakyat hidup menderita, sekolah hanya bagi
mereka yang keturunan bangsawan, para pemuda ditangkap, sungguh ia tidak akan
sanggup jika hidup di masa itu.
“Aku permisi, maaf sudah menganggumu!”
Ihsan melangkah pergi dari rumah Arif, menyisakan Arif dengan segala macam
pikirannya, ah, ia terlalu bodoh!
“Assalammualaikum, Abang aku menang lomba
makan kerupuk loh. Aku dapat hadiah buku gambar, terus dikasih kerupuk, ayo
kita makan Bang!” Seorang perempuan kecil berkata dengan sangat riang, ia baru saja datang lantas mendekati sang Abang. Sang Abang tersenyum kemudian membawa adiknya ke dalam
pelukan, “Terimakasih Sayang.” Hari ini uang hasil mengamen Arif utuh, lauk sudah
ada.
Keadaan seolah menyulitkan Arif, hasil
mengamennya semakin hari semakin sedikit, ini pasti karena adanya larangan
memberi uang kepada pengamen, belum lagi adanya pengamen gadungan, gelandangan
di kota, raja di desa, Arif muak dengan semua ini. Itulah kenapa baginya negeri
ini belum merdeka, pribumi miskin sedang warga asing kaya. Pribumi bawahan
sedang warga asing atasan, sungguh memuakkan.
Ya, tapi bagaimana pun juga, keadaan ini
jauh lebih baik dari pada ketika masa penjajahan dahulu. Arif tersadar bahwa ia
terlalu egois. Bukankah sudah banyak yang dikorbankan untuk kemerdekaan ini?
Kini tugasnyalah untuk semakin memerdekakan negeri ini.
-Merdeka
adalah milik mereka yang mau berusaha-
Depok, 14 Agustus 2016
S.J
S.J
0 Response to "Kerupuk 17-San"
Posting Komentar