Desa, Esok atau pun Lusa



Untuk pertama kalinya lelaki bernama Danang itu berlarian di tengah malam, tepatnya pukul 21.00 di mana sebagian warga desa sudah terlelap jadi sangat kecil kemungkinan aksinya akan diketahui oleh warga. Di tengah pekatnya malam serta jalanan yang licin karena diguyur hujan sore hari tadi tidak membuat laju kaki lelaki itu menjadi lebih pelan justeru semakin cepat, seiring dengan jarum jam yang perlahan tapi pasti menuju pukul 21.30. Ia harus semakin mempercepat lajunya.

“Aaaaa....”
Lelaki berusia 18 tahun itu terperosok ke dalam jurang. Tergulai lemah di bawah sinar rembulan, di antara rimbunya pepohonan.
***
Namanya Danang, lelaki tangguh kebanggaan desa tempatnya tinggal. Ia dikenal sebagai sosok yang ramah dan ringan tangan terlebih lelaki itu dikarunia paras yang indah. Danang menjadi sosok menantu idaman para orangtua yang memiliki anak gadis. Sudah 5 tahun Danang tinggal di desa itu, ia memang bukan warga asli bahkan tidak memiliki satu pun sanak saudara di tempat ia tinggal saat ini. Ia adalah seorang aktivis lingkungan yang datang 5 tahun lalu.

Berawal dari sebuah rencana para orang kota untuk mengalih fungsikan hutan di desa mereka menjadi perkebunan, menimbulkan perseteruan yang seru dan saat itulah sosok Danang hadir sebagai penyelamat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk mempertahankan hutan bahkan lelaki itu lera bolak-balik dari kota ke desa dua hari sekali untuk memastikan bahwa hutan tidak akan dialih fungsikan padahal saat itu Danang tercatat sebagai seorang mahasiswa yang super aktif, sudah pasti kegiatan di kampus cukup banyak dan itu tidak membutuhkan tenaga serta pikiran yang sedikit.

“Alhamdulillah setelah melalui proses yang cukup panjang dan melelahkan. Hutan tidak akan dialih fungsikan. Hutan akan tetap menjadi hutan.” Ucap Danang dengan senyuman bangga. Bangga pada semua warga yang telah berjuangan bersama untuk mempertahankan fungsi hutan sebagai paru-paru bumi.
“Terimakasih Nak Danang atas bantuannya!” ujar ketua desa disambut tepuk tangan warganya.
***
Angin semilir menerpa wajah seorang lelaki yang tengah duduk di atas batu kali. Lelaki itu tengah duduk bersila sambil meniup seruling memainkan lagu “Ibu Kita Kartini”. Indah sekali. Sesekali matanya terpejam menikmati bunyi alat musik yang ia mainkan sejak sepuluh menit yang lalu. Namanya Galih.

“Apa Danang sudah ketemu?” tanya seorang wanita berambut panjang. Ia baru saja mengantarkan makanan kepada bapaknya di sawah.
“Belum.” Jawab Galih santai, kemudian melanjutkan kembali permainannya. Tanpa sedikit pun melihat si lawan bicara.

“Terus kenapa kamu malah di sini? Kenapa kamu tidak mencari Danang?!” Kali ini wanita itu bertanya dengan nada yang cukup ketus cukup untuk menandakan bahwa ia marah pada Galih.
“Untuk apa dicari? Toh itu keinginannya untuk pergi dari desa ini?” jawab Galih masih dengan santainya tetapi kali ini melihat kearah Riri sekilas, “biarkan ia menjadi seperti burung seperti apa yang selama ini ia inginkan. Terbang bebas sesukanya.”

Diam. Tidak ada pembelaan dari Riri untuk terus memaksa lelaki itu mencari Danang. Dalam hati ia membenarkan perkataan Galih. Sekelibat inggatan 2 hari yang lalu berputar layaknya flim di mana Danang mengatakan keinginanya untuk pergi secepat mungkin meninggalkan desa ini. Tempat yang Riri kira telah menyatu dalam sosok Danang tetapi kenyataannya salah besar.

“Aku ingin terbang bebas seperti burung itu!”  kata Danang sambil terus memperhatikan burung yang entah apa namanya tengah berputar-putar di atas sana.
“Iya, aku tahu. Kamu sudah mengatakan itu berulan kali.” Lagi-lagi Riri menanggapi perkataan Danang seperti biasanya. Wanita itu hanya tersenyum simpul. Mengikuti pandangan Danang.
“Kali ini aku sungguh-sungguh! Aku akan terbang bebas, aku akan meninggalkan desa ini!”
“Apa?!”
Tersenyum misterius lantas menganggukan kepalanya penuh keyakinan. Danang.
Galih seperti biasa hanya menjadi pendengar setia percakapan kedua sahabatnya itu bahkan untuk sesuatu yang membuat Riri sangat terkejut, lelaki itu masih biasa saja. Diam.
“Galih, jaga anak kecil ini baik-baik ya! Hahaha.”
Tidak ada yang tertawa. Tidak lucu!
***
Malam semakin larut. Seorang laki-laki berjalan mengendap-endap menyusuri jalanan setempat dan ketika sampai disebuah jalan yang mengarah ke hutan langkah lelaki itu dipercepat hingga kini benar-benar berada di dalam hutan sosok itu terdiam cukup lama. Mengatur nafasnya sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan dengan santai berteman sebuah obor.

Terhitung dua puluh menit sudah lelaki itu berada di dalam hutan terus berjalan dengan penuh kehati-hatian. Hingga kini langkahnya terhenti pada sebuah gubuk tua, gubuk yang ia sendiri tidak tau siapa yang telah mendirikan bagunan itu namun siapa pun orang itu ia sangat berterimakasih dengan sangat. Dengan segera ia segera masuk ke dalam gubuk, memasang obor dan mengambil sekumpulan pelepah kelapa kering yang sudah ia kumpulkan dipojok ruangan lantas menyalakan obor yang lain. Jadilah gubuk yang awalnya gelap gulita menjadi terang meski remang-remang. Berjalan dengan perlahan pada sosok yang tergeletak lemah di tempat tidur.

“Maaf baru sempat datang sekarang,” ujar Galih pelan. Ia menatap nanar sahabatnya Danang, “apa kamu sudah makan?” bisik Galih tepat pada telinga sahabatnya. Berharap ada jawaban dari sosok lemah tersebut.
“Belum, a..aku lapar sekali.”
“Ini aku bawa makanan untukmu!”

Jadilah kedua sahabat itu makan malam bersama di tengah cahaya yang semakin remang-remang karena pelepah kelapa mulai habis terbakar.

“Kamu tidur saja lagi!”
“Maaffin aku Galih!”
Diam. Lelaki bernama Galih itu mengerti apa yang dimaksud oleh sahabatnya, ia hanya menyuguhkan sebuah senyuman sebagai jawaban. Baginya itu sudah cukup untuk diartikan bahwa permintaan maaf diterima.

“Kalau kamu ingin benar-benar menjadi burung yang dapat terbang bebas, aku bisa membantumu dan aku menjamin bahwa semua akan baik-baik saja.”
“Tidak, mungkin desa ini memang tempatku.” Ucap Danang sembari tersenyum sebiasa mungkin karena sungguh hati lelaki itu benar-benar berada di kota besar sejak beberapa hari yang lalu. Ambisi menjadi orang besar di kota besar.
***
Namanya Setia Galih Arjuna, sosok lelaki berperawakan jangkung berkulit sawo matang dipadu dengan rambut ikalnya. Tidak banyak yang tahu bahwa lelaki itu bukanlah warga asli desa ini, ia adalah seorang perantau, seorang anak dari pengusaha kaya raya di kota besar sana. Tidak ada yang istimewa dari lelaki itu, ia sama saja seperti warga desa ini. Tinggal di rumah dari anyaman bambu, pagi hari menjadi petani sore harinya beralih profesi menjadi guru mengaji, pakaian lelaki itu pun sama seperti warga biasa, tak jarang ditemui getah di baju yang Galih kenakan.

Namanya Danang, meski tinggal di desa namun kaya orang kota masih terlihat. Ia tidak bekerja sebagai petani, seharian full menjadi guru SMP di desa setempat. Kemana pun Danang pergi smartphone selalu nemani lelaki itu. Menjadi guru di desa ini adalah kemauannya sendiri. 5 tahun sudah lelaki itu menjalani profesi mulia itu.

Namanya Danang, tidak banyak yang tahu bahwa selama ini lelaki itu memiliki usaha di kota dan beberapa hari lalu omset dari usahanya luar biasa banyak. Sejak kecil lelaki itu memiliki keinginan untuk menjadi pengusaha hebat di kota besar dan entah kenapa 5 tahun yang lalu keinginannya berganti menjadi seorang guru di desa terpencil dan kali ini keinginan itu hadir kembali bahkan kali ini dengan rasa yang semakin kuat.

“Saya mau berhenti jadi guru Pak,” ujar Danang suatu siang di sekolah.
“Loh kenapa Nak Danang?” tanya sang kepala sekolah dengan heran.
“Saya ingin kembali ke kota,”
“Kapan?”
“Secepatnya Pak,”
“Maaf tidak bisa Nak Danang, kami belum menemukan penganti Nak Danang dan itu membutuhkan waktu yang lama apalagi di desa terpecil seperti ini.”

Keinginan lelaki itu sudah tidak dapat ditahan. Bayang-bayang kehidupan indah di kota besar terus menghantuinya jadilah ia memiliki rencana untuk pergi ke kota secara diam-diam pada tengah malam.
***
Matanya terpejam, lelaki itu benar-benar memejamkan matanya tidak setedik dua detik tetapi 10 menit, tidak seperti biasanya seperti ada sesuatu yang berat yang tengah melanda sosok itu. Sebuah suara hadir membuat lelaki itu membuka matanya.

“Pergilah jika kau mau pergi! Aku akan dengan senang hati menggantikanmu.”
“Menjadi pengusaha di kota besar adalah cita-citaku. Di kota sana semua ada dan serba mudah tidak seperti di sini bahkan ingin pergi ke warung saja harus menempuh jarak yang cukup jauh. Sebenarnya apa yang kau harapkan dari tempat ini Galih?”

“Aku mengharapkan tempat ini akan tetap menjadi desa baik itu esok atau pun lusa bahkan hingga tahun-tahun mendatang tentunya menjadi desa maju. Kelak jika itu terjadi tempat ini jauh lebih menyenang dari kota bahkan dengan ketertinggalan desa ini saja sudah membuatku sangat jatuh cinta.”
“Kamu itu anak penggusaha kaya Galih!”
“Materi? Aku tidak bahagia dengan semua itu, aku tidak mendapatkan ketenangan. Kamu tahu Danang? Tempat ini dengan segala kelebihannya membuat hidupku bahagia dengan sangat, aku mendapatkan ketenangan luar biasa ketika menatap hamparan hijau. Betapa indah ciptaan Allah. Betapa aku bahagia ketika berkumpul dengan warga desa ini.”

Entah sadar atau tidak kedua ujung bibir lelaki itu membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Menandakan bahwa ia benar-benar bahagia dengan semua ini.

“Aku akan membantu kamu pergi ke kota tapi aku mohon bantu aku terlebih dahulu untuk merenovasi masjid, aku ingin kamu yang membantu aku kawan! aku tahu kamu sangat hebat dalam bidang desain.” Galih menepuk pelan pundak Danang.

0 Response to "Desa, Esok atau pun Lusa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel